Selasa, 05 Februari 2008

PEMIKIRAN POLITIK ISLAM: Perbandingan Tiga Aliran Pemikiran dalam Politik Islam

BAB 1

Pendahuluan

I.1 Latar Belakang

Islam adalah sebuah agama yang bersifat sistemik, komperhensif dan integral, saling memiliki keterkaitan dengan segala aspeknya. Dalam hal ini, pemikiran politik islam hanyalah salah satu sub sistem sebuah sistem yang besar, yaitu ajaran islam itu sendiri.

Pemikiran politik Islam merupakan salah satu varian dari berbagai mainstrem pemikiran politik yang tengah bertarung dalam percaturan pemikiran politik gobal saat ini. Terjadinya berbagai kekerasan dan terorisme yang ditenggarai oleh berbagai oknum yang mengatas-namakan umat Islam tak pelak lagi telah membuat orang menoleh kembali kepada apa yang disebut dengan ”Islam.” Islam dilirik kembali dan sekaligus mengalami nasib sebagai pesakitan dunia internasional, karena dianggap sebagai agama penebar teror, agama yang tidak toleran, dan berbagai streotype negatif lainnya.

Mempelajari pemikiran islam(pemikiran politik Islam) dalam wacana akademik merupakan suatu keharusan. Terlebih lagi bagi calon sarjana ilmu politik indonesia, pengetahuan dasar mengenai konsep-konsep pemikiran politik dalam Islam mutlak diperlukan. Kenapa demikian ? hal ini setidaknya didasari oleh dua alasan penting, yaitu:[1]

1. Persentase masyarakat muslim di Indonesia sebagai penduduk mayoritas. Untuk itu diperlukan pengetahuan tentang pemikiran politik Islam dalam meneliti dan mengkaji gejala-gejala politik dan perilaku politik umat Islam di indonesia,sehingga hasil kajian tersebut bersifat lebih objektif dan sempurna

2. Untuk kepentingan pemikiran islam dari segi regional, kontinental, dan internasional. Hal ini terkait dengan fenomena adanya kecendrungan masyarakat dunia untuk menoleh dan menjadikan Islam sebagai kajian akademik, sehingga langkanya berbagai bahan referensi pemikiran politik islam dapat ditanggulangi.

Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengambil tema mengenai hubungan antara Islam, mayarakat dan negara, serta peranan negara dalam mengatur hubungan tersebut melalui institusi-institusi politik menurut perspektif pemikiran politik islam berdasarkan fakta-fakta yang terjadi di lapangan.

I.2 Permasalahan

Permasalahan yang penulis angkat dalam paper ini mengenai :

a. Hubungan antara negara (politik) dengan agama dari perpektif islam moderrnis, fudamentalis, liberal, serta alasan-alasan yang di berikan oleh tokoh-tokoh yang mewakili masing-masing perspektif tersebut

b. Impliksi perpektif tersebut terhadap institusi politik yang muncul dari pemikiran tokoh ini yang dijelaskan kedalam bentuk institusi politik yang menjebatani hubungan antara masyarakat dan negara

c. Pandangan masing-masing aliran terhadap issue-issue modern yang berkembang saat ini, seperti persoalan nasionalisme,demokrasi serta pandangan islam menurut mereka terhadap beberapa issue tersebut

BAB II

Pembahasan

II.I Sejarah Perkembangan Pemikiran Politik Islam

Perkembangan pemikiran politik islam dalam sejarahnya mengalami berbagai dinamika yang diwarnai oleh perdebatan wacana yang tidak berhenti semenjak zamana klasik hingga sampai saat ini. Panggung sejarah pemikiran politik islam silih berganti diramaikan oleh pemikir politik dan berbagai gerakan kesadaran, sesuai dengan periode zamannya masing-masing. Semua perdebatan yang pada mulanya adalah suatu usaha yang terus menerus untuk mencari formulasi yang tepat, untuk mensinergikan ajaran islam dalam konteks kekinian. Kompleksnya persoalan politik yang dihadapi oleh umat Islam dalam nuansa kekinian merupakan persoalan serius yang harus ditangani secepatnya oleh pemikir-pemikir Islam. Berkaitan dengan sejarah perkembangan pemikiran dalam islam saat ini dapat dikategorikan dalam beberapa varian:[2]

1.Kelompok Modernisme : pemikir yang menonjol dari kelompok ini adalah jamaluddin al-afghani dan Muhammad Abduh. Kelompok modernis mengajukan upatya reformsi dalam rangka menemukan kembali rasionalisme, siantisme, dan progresivisme dalam islam. Meskipun usaha itu kemudian di lembalikan kejalan tradisional oleh Rashid Rida, ketika upaya reformasi baru berjalan setengahnya.

Modernisme merupakan aliran pemikiran keagamaan yang berangkat dari suatu asumsi bahwa untuk dapat memulihkan kejayaan Islam, harus ada gerakan purifikasi ajran agama, seperti pernah dirintis oleh Ibnu Taimiyah. Karenanya wilayah modernisme mencakup :

(1) keyakinan bahwa kebangunan dan kejayaan islam hanya mungkin terwujud kembali jika umat Islam kembali kepada ajaran Islam yang murni yang meladani pola hidup para sahabat Nabi, khususnya al-Khulafa ar-Rasyidun;

(2) perlawanan terhadap koloniallisme dan domonasi barat, baik politik, ekonomimaupun kebudayaan;

(3)pengakuan terhadap keunggulan Barat dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, dan karenanya umat islam harus belajar;

(4) menentang setiap sistem pemerrintahan yang despotik atau sewenang-wenang dan menggantikanya dengan sistem yang berdasarkan musyawarah.

Modernisme berusaha melakukan reformasi politik melalui sosialisasi ajaran-ajaran Islam tentang musyawarah dalam dewan konstitusi dan badan-badan perwakilan rakyat, pembatasan kekuasaan dan kewenangan pemerintah dengan konstitusi dan undang-undang, serta pengerahan kekuatan dan potensi rakyat untuk mendukung reformasi politik politik sekaligus membebaskn dunia islam dari penjajahan dan dominasi barat. Dengan paradigma pemikiran diatas, modernisme sebagai gerakan politik sangat menentang hegemoni barat atas dunia Islam, karena kolonialisme Barat sesungguhnya merupakan ekploitasi terhadap harkat dan martabat manusia yang paling keji. Namum sebagai gerakan pemikiran yang bercorak humanistik-rasional, modernisme mampu mengadopsi dan berdialog dengan pemikiran-pemikiran barat yang dikategorisasikan sebagai kondusif bagi upaya pencerahan dan penguatan basis politik, ekonomi,dan kultural umat Islam termasuk gagasan demokrasi barat

2.Kelompok Liberal

Kelompok ini pada intinya ingin melihat perubahan radikal –fundamental dalam pola berpikir umat Islam yang dianggap stagnan dengan mengedepankan semangat dekonstruksi pemikiran Islam yang telah mapan. Paradigma dekonstruksi ini diimplementasikan sebagai kerangka pemikiran untuk menginterpretasikan nilai-nilai Islam agar selaras dengan perubahan masyarakat dunia yang berlangsung sangat cepat. Islam dalam kerangka paradigma dekonstruksi dilihat sebagai agama yang hanya berurusan dengan persoalanindividual yang mencakup aturan-atuiran soal hubungan manusia dengan uhan semata.

Figur sentral dari aliran ini adalah Ali Abd ar- Raziq (w 1996) dan Thaha Husain (w.1973). Menurut Thaha Husain kejayaan dan emakmuran islam akan terwujud kembali bukan dengan jalan kembali kepada ajaran Islam yang lama dan juga bukan dengan mengadakan reformasi atau pembaharuan pemikiran Islam, tetapi dengan perubahan-perubahan total yang bernafat liberal dan sekular dengan berkiblat kepada barat. Barat dalam asumsi Thaha Husain, adalah bentuk masyarakat yang ideal. Ia (barat) telah mencapai keseimbangan ideal, membiarkan akal bebas bekuasa atas dunia sosial, menundukan alam dengan menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi, merangkaikan hukum-hukumuntuk kebahagian, dan menciptakan pemerintahan yang menegakkan hukum serta merujukkan (konflik) kepentingan

Sementara Ali Abd ar-raziq, dalam bahasa yang sangat vulgar, menyatakan bahwa Nabi Muhammad sebernarnya bukan seorang pemimpin politik ( negarawan melaikan seorang rasul yang membawa risalah murni serta menolak ijma sebagai salah satu legitimasi institusi khilafah adalah karena pada tataran empirik, menurutnya, mayoritas pemimpinislam diangkat dengan kekerasan dan dipertahankan dengan pedang kecualai pada kasus tihga khilafah pertama, yaitu Abu Bakar, Umar , Utsman.

Dalam pandangan Ar-raziq pemerintah tidak harus bebentuk khilafah. Bentuk pemeritahan merupakan preferensi bebas manusia brdasarkan pertimbangan- pertimbangan rasio, bukan berdasrkan wahyu. Dalam jangka panjang, ar raziq sanagat optimistis bahwa akal manusia dan kondisi alamiah kehidupan manusia akan membawa mereka kapada bentuk pemerintahan demokratis, paling tidak ada perubahan –perubahan penting yng menjadi prakondisi krusial bagi terbentuknya negara rasional.

3.Kelompok Revivalis atau fundamentalis

Mereka yang dilabeli dengan istilah fundamentalis ini melihat faktor kedalam dan keluar keluar. Pandangan ini berangkat berdasarkan keyakinan bahwa Al-Quran pada dasarnya telah menyediakan petunjuk yang secara komplit, jelas dan sempurna sebagai fondasi bermasyarakat dan bernegara. Ditambah jika umat islam percaya bahwa alam berserta manusia adalah ciptaan Tuhan Allah, maka aturan yang paling sempurna untuk mengatur kehidupan manusia adalah aturan Tuhan Allah ,dan karen hakekat al quran pada dasarnya berisi ketentuan dan jalan tuhan , maka kembali kejalan qur’an sebagai fondasi ”social governance” tidak ada pilihan lain adalah kembali ke Al-Quran. [3]

Tokoh-tokoh utama dari kelompok ini Sayyid Quthb, Hasan al-Bana, Hasan at-Turabi dan- dengan kriteria tertentu- Abul A’la- al Maududi . Sayyid qutb misalnya, menguuk sistem negara bangsa ( nation state) di beberapa negara Arab sebagai tidak Islami dan merupakan bagian apa yang disebutnya jahiliyah modern. Bagi Qutb, sem politik islam merupakan sistem yang abadi. Sistem ini di bangun diatas iga pilar utama: kedilan penguasa, ketaatan rakyat, dan musyawarah rakyat, musywarah antra penguasa dan rakyat. Syariah adalah sumber semua sitem yang ada. Bentuk negara yang diidealisasikan adalah negara islam yang berdasarkan syariah. Karena itu Qutb secara tegas menolak demokrasi yang dipratekkan sistem negara bangsa di beberapa wilayah geopolitik dunia [4]

Bab III

Kesimpulan

Pemikiran politik Islam merupakan salah satu varian dari berbagai mainstrem pemikiran politik yang tengah bertarung dalam percaturan pemikiran politik gobal saat ini. Terjadinya berbagai kekerasan dan terorisme yang ditenggarai oleh berbagai oknum yang mengatas-namakan umat Islam tak pelak lagi telah membuat orang menoleh kembali kepada apa yang disebut dengan ”Islam.” Islam dilirik kembali dan sekaligus mengalami nasib sebagai pesakitan dunia internasional, karena dianggap sebagai agama penebar teror, agama yang tidak toleran, dan berbagai streotype negatif lainnya. Berdasarkan sejarah dan perkembanganya ada tiga varian kelompok yang mempengaruhi yaitu:

1.Fundamentalis berangkat dari pandangan bahwa Alquran sebagai acuan dasar yang telah menyediakan aturan yang secara komplit sempurna sebagai fondasi bermasyarakat dan bernegara .

2.Modernisme.aliran pemikiran keagamaan yang berangkat dari suatu asumsi bahwa untuk memulihkan kejayaan Islam,harus ada purifikasi ajaran agama seperti pernah dirintis oleh Ibnu Taimiyah.

3. liberal yang intinya ingin melihat perubahan radikal –fundamental dalam pola berpikir umat Islam yang dianggap stagnan dengan mengedepankan semangat dekonstruksi pemikiran Islam yang telah mapan.

Daftar Pustaka

Prasetyo,Eko. Islam Kiri Melawan Kapialisme Modal Dari Wacana Menuju Gerakan (Insist press: Jakarta, 2002).

Thaba,Abdul Azis. Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru (Jakarta: Gema Insani Press, 1996)

Umaruddin, Masdar. Membaca Pemikiran Gus Dur dan Amin Rais tentang Demokrasi (Jakarta: Pustaka Pelajar Offset,1999)

Hang out Pemikiran Politik Islam



[1] Abdul Azis Thaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, (jakarta: gema insani press, 1996) hlm.3

[2] Masdar, Umaruddin. Membaca Pemikiran Gus Dur dan Amin Rais tentang Demokrasi..Jakarta:pustaka pelajar offset,1999. hal51-55.

[3] Eko prasetyo.Islam Kiri Melawan Kapialisme Modal Dari Wacana Menuju Gerakan.insist press: jakarta,2002. hal xv

[4] Ibid, hal 50

Tidak ada komentar: