Selasa, 05 Februari 2008

PEMIKIRAN POLITIK ISLAM: Perbandingan Tiga Aliran Pemikiran dalam Politik Islam

BAB 1

Pendahuluan

I.1 Latar Belakang

Islam adalah sebuah agama yang bersifat sistemik, komperhensif dan integral, saling memiliki keterkaitan dengan segala aspeknya. Dalam hal ini, pemikiran politik islam hanyalah salah satu sub sistem sebuah sistem yang besar, yaitu ajaran islam itu sendiri.

Pemikiran politik Islam merupakan salah satu varian dari berbagai mainstrem pemikiran politik yang tengah bertarung dalam percaturan pemikiran politik gobal saat ini. Terjadinya berbagai kekerasan dan terorisme yang ditenggarai oleh berbagai oknum yang mengatas-namakan umat Islam tak pelak lagi telah membuat orang menoleh kembali kepada apa yang disebut dengan ”Islam.” Islam dilirik kembali dan sekaligus mengalami nasib sebagai pesakitan dunia internasional, karena dianggap sebagai agama penebar teror, agama yang tidak toleran, dan berbagai streotype negatif lainnya.

Mempelajari pemikiran islam(pemikiran politik Islam) dalam wacana akademik merupakan suatu keharusan. Terlebih lagi bagi calon sarjana ilmu politik indonesia, pengetahuan dasar mengenai konsep-konsep pemikiran politik dalam Islam mutlak diperlukan. Kenapa demikian ? hal ini setidaknya didasari oleh dua alasan penting, yaitu:[1]

1. Persentase masyarakat muslim di Indonesia sebagai penduduk mayoritas. Untuk itu diperlukan pengetahuan tentang pemikiran politik Islam dalam meneliti dan mengkaji gejala-gejala politik dan perilaku politik umat Islam di indonesia,sehingga hasil kajian tersebut bersifat lebih objektif dan sempurna

2. Untuk kepentingan pemikiran islam dari segi regional, kontinental, dan internasional. Hal ini terkait dengan fenomena adanya kecendrungan masyarakat dunia untuk menoleh dan menjadikan Islam sebagai kajian akademik, sehingga langkanya berbagai bahan referensi pemikiran politik islam dapat ditanggulangi.

Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengambil tema mengenai hubungan antara Islam, mayarakat dan negara, serta peranan negara dalam mengatur hubungan tersebut melalui institusi-institusi politik menurut perspektif pemikiran politik islam berdasarkan fakta-fakta yang terjadi di lapangan.

I.2 Permasalahan

Permasalahan yang penulis angkat dalam paper ini mengenai :

a. Hubungan antara negara (politik) dengan agama dari perpektif islam moderrnis, fudamentalis, liberal, serta alasan-alasan yang di berikan oleh tokoh-tokoh yang mewakili masing-masing perspektif tersebut

b. Impliksi perpektif tersebut terhadap institusi politik yang muncul dari pemikiran tokoh ini yang dijelaskan kedalam bentuk institusi politik yang menjebatani hubungan antara masyarakat dan negara

c. Pandangan masing-masing aliran terhadap issue-issue modern yang berkembang saat ini, seperti persoalan nasionalisme,demokrasi serta pandangan islam menurut mereka terhadap beberapa issue tersebut

BAB II

Pembahasan

II.I Sejarah Perkembangan Pemikiran Politik Islam

Perkembangan pemikiran politik islam dalam sejarahnya mengalami berbagai dinamika yang diwarnai oleh perdebatan wacana yang tidak berhenti semenjak zamana klasik hingga sampai saat ini. Panggung sejarah pemikiran politik islam silih berganti diramaikan oleh pemikir politik dan berbagai gerakan kesadaran, sesuai dengan periode zamannya masing-masing. Semua perdebatan yang pada mulanya adalah suatu usaha yang terus menerus untuk mencari formulasi yang tepat, untuk mensinergikan ajaran islam dalam konteks kekinian. Kompleksnya persoalan politik yang dihadapi oleh umat Islam dalam nuansa kekinian merupakan persoalan serius yang harus ditangani secepatnya oleh pemikir-pemikir Islam. Berkaitan dengan sejarah perkembangan pemikiran dalam islam saat ini dapat dikategorikan dalam beberapa varian:[2]

1.Kelompok Modernisme : pemikir yang menonjol dari kelompok ini adalah jamaluddin al-afghani dan Muhammad Abduh. Kelompok modernis mengajukan upatya reformsi dalam rangka menemukan kembali rasionalisme, siantisme, dan progresivisme dalam islam. Meskipun usaha itu kemudian di lembalikan kejalan tradisional oleh Rashid Rida, ketika upaya reformasi baru berjalan setengahnya.

Modernisme merupakan aliran pemikiran keagamaan yang berangkat dari suatu asumsi bahwa untuk dapat memulihkan kejayaan Islam, harus ada gerakan purifikasi ajran agama, seperti pernah dirintis oleh Ibnu Taimiyah. Karenanya wilayah modernisme mencakup :

(1) keyakinan bahwa kebangunan dan kejayaan islam hanya mungkin terwujud kembali jika umat Islam kembali kepada ajaran Islam yang murni yang meladani pola hidup para sahabat Nabi, khususnya al-Khulafa ar-Rasyidun;

(2) perlawanan terhadap koloniallisme dan domonasi barat, baik politik, ekonomimaupun kebudayaan;

(3)pengakuan terhadap keunggulan Barat dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, dan karenanya umat islam harus belajar;

(4) menentang setiap sistem pemerrintahan yang despotik atau sewenang-wenang dan menggantikanya dengan sistem yang berdasarkan musyawarah.

Modernisme berusaha melakukan reformasi politik melalui sosialisasi ajaran-ajaran Islam tentang musyawarah dalam dewan konstitusi dan badan-badan perwakilan rakyat, pembatasan kekuasaan dan kewenangan pemerintah dengan konstitusi dan undang-undang, serta pengerahan kekuatan dan potensi rakyat untuk mendukung reformasi politik politik sekaligus membebaskn dunia islam dari penjajahan dan dominasi barat. Dengan paradigma pemikiran diatas, modernisme sebagai gerakan politik sangat menentang hegemoni barat atas dunia Islam, karena kolonialisme Barat sesungguhnya merupakan ekploitasi terhadap harkat dan martabat manusia yang paling keji. Namum sebagai gerakan pemikiran yang bercorak humanistik-rasional, modernisme mampu mengadopsi dan berdialog dengan pemikiran-pemikiran barat yang dikategorisasikan sebagai kondusif bagi upaya pencerahan dan penguatan basis politik, ekonomi,dan kultural umat Islam termasuk gagasan demokrasi barat

2.Kelompok Liberal

Kelompok ini pada intinya ingin melihat perubahan radikal –fundamental dalam pola berpikir umat Islam yang dianggap stagnan dengan mengedepankan semangat dekonstruksi pemikiran Islam yang telah mapan. Paradigma dekonstruksi ini diimplementasikan sebagai kerangka pemikiran untuk menginterpretasikan nilai-nilai Islam agar selaras dengan perubahan masyarakat dunia yang berlangsung sangat cepat. Islam dalam kerangka paradigma dekonstruksi dilihat sebagai agama yang hanya berurusan dengan persoalanindividual yang mencakup aturan-atuiran soal hubungan manusia dengan uhan semata.

Figur sentral dari aliran ini adalah Ali Abd ar- Raziq (w 1996) dan Thaha Husain (w.1973). Menurut Thaha Husain kejayaan dan emakmuran islam akan terwujud kembali bukan dengan jalan kembali kepada ajaran Islam yang lama dan juga bukan dengan mengadakan reformasi atau pembaharuan pemikiran Islam, tetapi dengan perubahan-perubahan total yang bernafat liberal dan sekular dengan berkiblat kepada barat. Barat dalam asumsi Thaha Husain, adalah bentuk masyarakat yang ideal. Ia (barat) telah mencapai keseimbangan ideal, membiarkan akal bebas bekuasa atas dunia sosial, menundukan alam dengan menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi, merangkaikan hukum-hukumuntuk kebahagian, dan menciptakan pemerintahan yang menegakkan hukum serta merujukkan (konflik) kepentingan

Sementara Ali Abd ar-raziq, dalam bahasa yang sangat vulgar, menyatakan bahwa Nabi Muhammad sebernarnya bukan seorang pemimpin politik ( negarawan melaikan seorang rasul yang membawa risalah murni serta menolak ijma sebagai salah satu legitimasi institusi khilafah adalah karena pada tataran empirik, menurutnya, mayoritas pemimpinislam diangkat dengan kekerasan dan dipertahankan dengan pedang kecualai pada kasus tihga khilafah pertama, yaitu Abu Bakar, Umar , Utsman.

Dalam pandangan Ar-raziq pemerintah tidak harus bebentuk khilafah. Bentuk pemeritahan merupakan preferensi bebas manusia brdasarkan pertimbangan- pertimbangan rasio, bukan berdasrkan wahyu. Dalam jangka panjang, ar raziq sanagat optimistis bahwa akal manusia dan kondisi alamiah kehidupan manusia akan membawa mereka kapada bentuk pemerintahan demokratis, paling tidak ada perubahan –perubahan penting yng menjadi prakondisi krusial bagi terbentuknya negara rasional.

3.Kelompok Revivalis atau fundamentalis

Mereka yang dilabeli dengan istilah fundamentalis ini melihat faktor kedalam dan keluar keluar. Pandangan ini berangkat berdasarkan keyakinan bahwa Al-Quran pada dasarnya telah menyediakan petunjuk yang secara komplit, jelas dan sempurna sebagai fondasi bermasyarakat dan bernegara. Ditambah jika umat islam percaya bahwa alam berserta manusia adalah ciptaan Tuhan Allah, maka aturan yang paling sempurna untuk mengatur kehidupan manusia adalah aturan Tuhan Allah ,dan karen hakekat al quran pada dasarnya berisi ketentuan dan jalan tuhan , maka kembali kejalan qur’an sebagai fondasi ”social governance” tidak ada pilihan lain adalah kembali ke Al-Quran. [3]

Tokoh-tokoh utama dari kelompok ini Sayyid Quthb, Hasan al-Bana, Hasan at-Turabi dan- dengan kriteria tertentu- Abul A’la- al Maududi . Sayyid qutb misalnya, menguuk sistem negara bangsa ( nation state) di beberapa negara Arab sebagai tidak Islami dan merupakan bagian apa yang disebutnya jahiliyah modern. Bagi Qutb, sem politik islam merupakan sistem yang abadi. Sistem ini di bangun diatas iga pilar utama: kedilan penguasa, ketaatan rakyat, dan musyawarah rakyat, musywarah antra penguasa dan rakyat. Syariah adalah sumber semua sitem yang ada. Bentuk negara yang diidealisasikan adalah negara islam yang berdasarkan syariah. Karena itu Qutb secara tegas menolak demokrasi yang dipratekkan sistem negara bangsa di beberapa wilayah geopolitik dunia [4]

Bab III

Kesimpulan

Pemikiran politik Islam merupakan salah satu varian dari berbagai mainstrem pemikiran politik yang tengah bertarung dalam percaturan pemikiran politik gobal saat ini. Terjadinya berbagai kekerasan dan terorisme yang ditenggarai oleh berbagai oknum yang mengatas-namakan umat Islam tak pelak lagi telah membuat orang menoleh kembali kepada apa yang disebut dengan ”Islam.” Islam dilirik kembali dan sekaligus mengalami nasib sebagai pesakitan dunia internasional, karena dianggap sebagai agama penebar teror, agama yang tidak toleran, dan berbagai streotype negatif lainnya. Berdasarkan sejarah dan perkembanganya ada tiga varian kelompok yang mempengaruhi yaitu:

1.Fundamentalis berangkat dari pandangan bahwa Alquran sebagai acuan dasar yang telah menyediakan aturan yang secara komplit sempurna sebagai fondasi bermasyarakat dan bernegara .

2.Modernisme.aliran pemikiran keagamaan yang berangkat dari suatu asumsi bahwa untuk memulihkan kejayaan Islam,harus ada purifikasi ajaran agama seperti pernah dirintis oleh Ibnu Taimiyah.

3. liberal yang intinya ingin melihat perubahan radikal –fundamental dalam pola berpikir umat Islam yang dianggap stagnan dengan mengedepankan semangat dekonstruksi pemikiran Islam yang telah mapan.

Daftar Pustaka

Prasetyo,Eko. Islam Kiri Melawan Kapialisme Modal Dari Wacana Menuju Gerakan (Insist press: Jakarta, 2002).

Thaba,Abdul Azis. Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru (Jakarta: Gema Insani Press, 1996)

Umaruddin, Masdar. Membaca Pemikiran Gus Dur dan Amin Rais tentang Demokrasi (Jakarta: Pustaka Pelajar Offset,1999)

Hang out Pemikiran Politik Islam



[1] Abdul Azis Thaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, (jakarta: gema insani press, 1996) hlm.3

[2] Masdar, Umaruddin. Membaca Pemikiran Gus Dur dan Amin Rais tentang Demokrasi..Jakarta:pustaka pelajar offset,1999. hal51-55.

[3] Eko prasetyo.Islam Kiri Melawan Kapialisme Modal Dari Wacana Menuju Gerakan.insist press: jakarta,2002. hal xv

[4] Ibid, hal 50

kutipan buku birokrasi martin albrow

Di dalam buku Martin Albrow tampak penjelasan-penjelasan yang disampaikan oleh para tokoh seperti M.de , Gourney, Balzac, Johan Gorres, John Stuart Mill, Herbert Spencer, Gaetano Mosca , Robert Michels, Max Weber , dan . Para tokoh tersebut banyak memberikan penjelasan dan wawasan mengenai birokrasi. Istilah birokrasi terbentuk tidak secara langsung melainkan melalui penyerapan dan perpaduan antar bahasa. Istilah birokrasi pertama kali di perkenalkan oleh de Gourney berkaitan dengan istilah ”bureau” yang berarti, meja tulis tempat dimana para pejabat berkerja. Tambahan sisipan ”cracy” dari bahasa yunani ( kratein ) berari mengatur , menghasilkan istilah yang memiliki kekuatan yang sangat dahsyat.

Pada awal abad ke-19, Balzac memaparkan citra birokrasi dan mempopulerkanya di Perancis. Demikian dengan John Gorres, melihat birokrasi sebagai institusi sipil yang mirip dengan kedudukan tentara. Bahkan prinsip-prinsipnya sama dengan tentara : disiplin,kelompok, promosi, sentralisasi,dan penghargaan. Bahwasanya birokrasi telah berhasil memperluas prinsip subordinasi yang menjadi dasar dalam perkembangan birokrasi itu sendiri.

John Stuart Mill, dalam teori politiknya, birokrasi memiliki arti penting yaitu, keterampilan dan kemampuan poilitik yang tinggi. Rumusan-rumusan Mill sangat singkat, tetapi sangat berpengaruh pada ajaran Mosca . Pada tahun 1884 di Inggris, kebebasan parlemen, peradilan, dan kota praja memberi keyakinan bahwa administrasi dan komunitas bisa di kenal.sebaliknya birokrasi di tolak. Selain itu, sejarahwan Ramsay Muir mengatakan bahwa birokrasi berarti ” penyelenggaraan kekuasaan oleh administrator yang professional”.

Berdasarkan perbandingan perfektif yang luas, semua negara Eropa bertipe sama, yakni diperintah oleh para pejabat. Di Jerman, gagasan tentng birokrasi sangat tekait dengan perubahan-perubahan radikal dalam teori politik dan administrasi, Karl Heinze mendefenisikan birokrasi lebih bersikap netral, yaitu sebagai ” suatu struktur organisasi yang di dalamnya seorang pejabat tunggal yang mengontrol administrasi”. Lain lagi menurut Robert von Mohl birokrasi merupakn ”sistem biro” lebih diprioritaskan dan memiliki variasi konotasi, tergantung kelompok social yang menyampaikan keluhan. Birokratisme sebagai tingkah laku pejabat professional yang menyakitkan warga Negara. Setidaknya ada tiga konsep pokok yang di bedakan dengan monarki, emokrasi, dan aristokrasi serta birokrasi sebagai efisiensi dan inefisiensi administrasi.

Terdapat dua tokoh penting dalam rumusan klasik yaitu Gaetano Mosca dan Robert Michels. Menurut Mosca tentang birokrasi dan ketidakpuasannya terhadap tipe pemerintahan pola tradisional menjadi suatu pola analisa perbandingan politik yang utama. Dalam terminologi logika tradisional, Mosca mencari suatu landasan yang mendasar atau fundamental divisionis yang baru, suatu asas klasifikasi yang menjungkir balikan para ahli dan menjelaskan tentang realitas proses politik. Mosca sangat tidak percaya pada pendapat yang mengatakan bahwa kelas yang berkuasa harus monolitik. Apabila suatu birokrasi memonopoli kekayaan dan kekuatan militer, ia menyebut sebagai absolutisme birokratik.

Berbeda dengan Michels yang bersifat aporistik. Dengan menunjukkan bagaimana para pemimpin badan-badan yang memiliki ribuan anggota itu merasa perlu untuk merekrut pejabat full time yang digaji. Penyederhanaan konsep birokrasi Mosca dan Michels merupakan penolakan mereka terhadap struktur pemikiran demokratis konstitusional yang kompleks.

Max Weber dalam teori organisasi, menulis tentang birokrasi adalah sebagai bagian dari usaha yang luar biasa untuk membukukan konsep-konsep ilmu sosial. Weber memandang bahwa tingkah laku manusia cenderung diorientasikan kepada seperangkat aturan. Organisasi ala Weber menunjukan adanya staf administrasi pada pembedaan yang dibuat antara kekuasaan dan otoritas. Ia menekankan bahwa kepatuhan atas perintah terutama tergantung pada keyakinan atas adanya legitimasi, suatu keyakinann bahwa tatanan tersebut harus di patuhi. Dengan kata lain, ia menolak pandangan bahwa setiap pegawai negeri adalah anggota kelas yang berkuasa.

Weber mengemukakan lima keyakinan sebagai berikut :

1. Hukum adalah sistem aturan abstrak, sedangkan administrasi mengurus kepentingan-kepentingan organisasi

2. Manusia yang menjalankan otoritas dan mematuhi tatanan impersonal

3. Anggota yang taat hukum

4. Kepatuhan ditunjukan kepada tatanan impersonal

Pada beberapa hal, Weber mengemukakan bahwa birokrasi merupakan proses yang tidak dapat dihindari, karena birokratisasi sama halnya membicarakan pertumbuhan kekuasaan dari para pejabat Beamtenherrschaft-kekuasaan atau pemerintahan yang dilakukan oleh pejabat adalah konsep Weber yang dibedakan dari birokrasi. Menurutnya Beamtenherrschaft adalah sesuatu yang menakutkan di luar birokrasi. Weber membatasi mekanisme lingkup sistem-sistem otoritas menjadi lima kategori:

1. Kolegalitas , bahwa kolegalitas berperan membatasi birokrasi.

2. Pemisahan kekuasaan,berarti pembagiaan tanggung jawab terhadap fungsi yang sama antara dua badan atau lebih. Weber menganggap bahwa sitem seperti ini tidak stabil.

3. Administrasi amatir, sistem ini tidak diukur berdasarkan tuntutan akan keahlian yang diperlukan oleh masyarakat modern

4. Demokrasi langsung, metode yang dibutuhkan oleh orang-orang yang berkeahlian membuat keputusan

5. Representasi , sistem birokrasi melaluai perantara untuk mengawasi birokrat

Adapun perdebatan dasar-dasar teori Weber dengan para pemikir yang lain terhadap kurangnya perhatian Weber pada masalah inefesiensi birokrasi sangat bertentangan dan menimbulkan kontroversi yang berlanjut hingga saat ini. Menurut Mosca, persoalan hubungan birokrasi dan demokrasi mengedepankan masalah tersebut secara netral dan alamiah. Menurut Michesl sendiri lebih baik menerima konsep birokrasi dalam makna yang paling netral, kemudian menunjukkan akibat-akibat yang muncul dari bentuk pemusatan kekuasaan. Pemahaman Weber terhadap birokrasi jelas tidak dapat diragukan. Selain memperkaya rincian hokum secara teknis, ia menyusu kembali kerangka konseptual. Weber mencoba menetralisir masalah pengawasan merupakan hal inheren dalam sistem administrasi birokrasi yang baik. Konsep yang dibangunya tentang birokrasi rasional menunjukan ambivalensi yang mendalam tentang perkembangan administrasi modern

Dari sekian banyak kecaman, kecaman yang sederhana untuk menentang Weber adalah bahwa ia menciptakan kebingungan dal perbendaharaan bahasa. Baik orang seperti Merton, yang memaparkan konskuensi-konsekuensi Weberian yang tidak terantisipasi, maupun orang seperti Bendix, yang menekanka bahwa struktur semacam itu ada dalam suatu masyarakat yang besar, keduanya sepakat mempertanyakan rasionalitas dan efisiensi .

Para idiolog seperti Karl Marx, Kaum Fasis, dan Kaum Demokrasi Perwakilan memberikan penafsiran yang berbeda-beda tentang birokrasi. Marxisme, dengan Karl Marxnya yang dimana birokrasi tergantung pada kesimpulan yang diambil dari filsafat ilmu politik secara umum dan berasal dari persepsi analisis Marx terhadap birokrasi amat disesuaikan dengan interpretasi ekonominya dengan politik.

Berbeda dengan Marx, kaum Fasis yang bersifat sesaat { ad hoc } kebanyakan merupakan koleksi gagasan yang dicomot demi alasan-alasan oportunistik, bahwa sudah menjadi kenyataan konsep birokrasi sebagai alat Negara yang tidak memihak yang dapat ditemui dalam pemikiran fasis. Lai halnya dengan kaum Demokrasi Perwakilan birokrasi merupakan antitesis bisnis yang didorong oleh keinginan untuk memperoleh keuntungan

Beberapa konsep modern tentan birokrasi tergambar oleh penjelasan para pemikir seperti Weber, Peter Blau, de Gourney, dan Mill. Diantaranya yaitu:

  1. Birokrasi sebagai organisasi rasional
  2. Birokrasi sebagai inefisiensi organisasi
  3. Birokrasi sebagai kekuasaan yang dijalankan oleh pejabat
  4. Birokrasi sebagai administrasi Negara ( public )
  5. Birokrasi sebagai administrasi yabg dijalankan oleh pejabat
  6. Birokrasi sebagai suatu organisasi
  7. Birokrasi sebagai masyarakat modern

pemerintahan daerah

I. PENDAHULUAN

I.1. Sejarah Pemerintahan Daerah

Sebagai pelaksanaan pasal 18 UUD 1945 di bidang ketatanegaraan pemerintahan republik indonesia melaksanakan pembagian daerah-daerah dengan bentuk susunanya Undang-Undang Pemerintah Daerah. Oleh karena itu sejak proklamasi kemerdekaan, kita lihat pemerintah daerah beberapa kali membentuk undang-undang tentang Pemerintahan Daerah. Perubahan-perubahan terlihat karena masing-masing undang-undang menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi yang terjadi, sehingga ahkirnya terbentuk UU N0 5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan daerah. UU ini terkenal dengan pemberian otonomi yang nyata, dinamis, dan bertanggung jawab.

Seriring dengan runtuhnya orde baru dan memasuki era reformasi yang terus bergulir tiada hentinya maka UU No 5 Tahun 1974 tidak berlaku lagi dan diganti dengan UU N0 22 tahun 1999, masih tentang pemerintahan daerah. Nyata dalam arti bahwa pemberian otonomi kepada daerah harus di dasarkan pada faktor-fakor, perhiungan, dan tindakan-tindakan atau kebijaksanan-kebijaksanan yang benar-benar dapat menjamin daerah yang bersangkutan secara nyata mampu mengurus rumah tangganya sendiri.

Kemudian UU tersebut direvisi kembali menjadi UU No 32 Tahun 2004, dimana pemberian otonomi yang luas lebih diarahakan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan, dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Berdasarkan penjelasan diatas maka yang dimaksud dengan otonomi daerah itu sendiri berarti hak, wewenang, dan kewajiban suatu pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus rumh tangganya sendiri. Fungsi mengatur diberikan pada aparat legislatif yaitu DPRD. Itu sebabnya DPRD pada masing-masing daerah dapat membuat peraturan daerah (perda) masing-masing ketentuan yng berlaku. Sedangkan fungsi mengurus diserahkan kepada eksekutif daerah yaitu kepala daerah dan dinas-dinas otonomnya[1].

Ahkirnya disimpulkan bahwa pemberian otonomi kepada pemerintah daerah haruslah nyata, dinamis, dan bertanggung jawab. Nyata dalam artian desentralisasi pemerintahan karena harus didasarkan pada faktor-faktor, perhitungan-perhitungan, dan tindakan-tindakan atau kebijaksanaan yang benar-benar menjamin daerah tersebut dapat mengurus rumah tangganya sendiri. Bertanggung jawab dalam arti sentralistis pemerintahan karena harus sejalan dengan tujuan yaitu melancarkan pembangunan yang tersebar di pelosok negara dan serasi atau tidak bertentangan dengan pengarahan-pengarahan yang telah diberikan, serasi dengan pembinan politik dan kesatuan bangsa, menjamin hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan daerah[2] .

II. PEMBAHASAN

II.1. Sistem Hubungn Keuangan Pusat-Daerah

UU pertama yang menggatur hubungan keuangan antara pusat dan daerah adalah UU No 32 tahun 1956. UU ini merupakan sumber-sumber keuangan daerah sebagai berikut:

  1. Pendapatan Asli Daerah (PAD)
  2. Sumber PAD terdiri dari pajak daerah restribusi daerah dan hasil perusahaan daerah. Adapun pajak pusat yang diserahkan kepada daerah menjadi pajak daerah meliputi pajak verpoding, pajak verponding indonesia, pajak rumah tangga, pajak kendaraan bermotor, pajak jalan, pajak potong hewan, pajak kopra, dan pajak pambangunan I.
  3. Sebagian dari hasil pemungutan pajak negara tertentu, bea masuk , bea keluar dan cukai diserahkan kepada daerah. Pajak negara tertentu adalah pajak peralihan, pajak upah, pajak materai, pajak kekayaan dan pajaka perseroan.
  4. Ganjaran subsidi dan bantuan, di berikan kepada daerah dalam hal-hal tertentu.

Bagi hasil pajak serta ganjaran dan bantuan yang tidak dapat dilaksanakan berdasarkan UU No32 tahun 1956 diganti dengan (Kristiadi, 1991):

  1. Penyerahan tambahan 3 pajak negara kepala daerah, yaitu: bea balik nma kendaraan bermotor, pajak radio, dan pajak bangsa asing. Dengan demikian daerah memungut 11macam pajak.
  2. Subsidi Daerah Otonom (SDO) diberikan sebagai ganti dari bagi hasil pajak diatas. Pembagian SDO didasarkan pada perimbangan jumlah pegawai daerah otonom, dengan alasan penggunaan SDO diarahkan kepada gaji pegaai daerah otonom ditambah acress untuk belaja non pegawai, yang kemudian digunakan untuk subsidi biaya operasional serta ganjaran untuk Dati I, Dati II dan kecamatan.
  3. Sebagai ganti ganjaran, subsidi, dan bantuan di perkenalkan program bantuan inpres sejak tahun 1969.
  4. Pinjaman kepada daerah dimulai dengn banun uang IPEDA (1969), bantuan inpres pasar (1976), dan pinjaman lain (1978).

Berpijak pada tiga asas desentralisasi (dekonsentrasi, desentralisasi,dan tugas pembantuan), pengaturan hubungan keuangan pusat dan daerah didasarkan pada 4 prinsip.

  1. Urusan yang merupakan tugas pemerintah pusat didaerah dalam rangka dekonsentrasi dibiayai dari dan atas APBN.
  2. Urusan yang merupakan tugas pemerintah daerah sendiri dalam rangka desentralisasi dibiayai dari dan atas beban APBD.
  3. Urusan yang merupakan tugas pemerintah pusat atau pemerintah daerah tingkat atasnya, dapat dilaksanakan dalam rangka tugas perbantuan, dibiayai oleh pemerintahj pusat atas beban APBN atauoleh pemerintah daerah tingkat atasnya atas beban APBD-nya sebagai pihak yang menugaskan.
  4. Sepanjang potensi sumber-sumber keuangan daerah belum mencukupi pemerintah pusat memberikan sejumlah sumbangan.

Kemudian kalau kita coba membandingkan UU No32 tahun 1956 dan UU No32 tahun 2004, terdapat banyak perbedaan. Misalnya BAB III paragraf kedua mengenai pendapatan,belanja, dan pembiayaan. Pasal 157 sumber pendapatan daerah terdiri atas

1) Pendapatan asli daerah yangselanjutnya disebut PAD

· Hasil pajak daerah

· Hasil pengelolan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan

· Lain-lain PAD yang sah;

2) Dana perimbangan (DAU,DAK, dana bagi hasil)

3) Lain-lain PAD yang sah.

Lalu hubungan keuangan antara pusat dan daerah dalam BAB III duatur dalam pasal 164 yaitu:

  1. Lain-lain pendapatan daerah yang sah sebagaimana dimaksud dalam pasal 156 huruf c merupakan seluruh pendapatan daerah selain PAD dan dana perimbanga yang meliputi hibah, dana darurat, dan dana lain-lain pendapatan yang ditetapkan pemerintah .
  2. Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bantuan berupa uang , barang, dan/atau jasa yang berasal dari pemerintah, masyarakat, dan badan usaha dalam negeri dan luar negeri.
  3. Pendapatan dana darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bantuan pemerintah dari APBN kepada pemerintah daerah untukmendanai keperluan yang mendesak yang diakibatkan peristiwa tertentu yang tidak dapat ditanggulangi APBD.

Dari pasal diatas dapat dianalisa bahwa realitas hubungan fiskal ditandai dengan tingginya kontrol pusat terhadap proses pembanguna daerah. Ini terlihat jelas dari rendahnya proposisi PAD terhadap totalpendapatan daerah dibandingkan besarny subsidi (grants) yang didrop dari pusat. Indikator desentralisasi fiskal adalah rasio antara PAD dengan total pendapatan daerah. PAD terdiri atas pajak-pajak daerah, restribusi daerah, penerimaan dari dinas, laba bersih dari perusahan daerah (BUMD) dan lain-lain penerimaan.

Ditambah dengan dominanya tranfer dana dari pusat kepada daerah selama ini melalui tiga jalur. Pertama, SDO (Subsidi Daerah Otonom), yaitu transfer kepada pemda untuk membiayai pengeluaran rutin. Kedua, program inpres (dana non DIP) baik yang bersifat sektoral maupun umum dan digunakan untuk membantu pemda ( Provinsi, Kabupaten/Kotamadya, Desa) untukmembiayai pengeluaran rutin dan pembangunan, sekaligus sebagai upaya untuk mengatasi ketidakseimbangan struktur keuangan antar daerah. Termasuk dalam program Inpres adalah Inpres Kabupaten, Provinsi, Desa, SD, Kesehatan, Pasar, Penghijauan, dan Jalan. Ketiga, DIP (pengeluaran sektoral) yang dialokasikan.

Setidaknya ada lima penyebab utama rendahnya PAD yang pada gilirannya menyebabkan tingginya ketergantungan terhadap subsidi dari pusat.

  1. Kurang berperanya perusahaan daerah sebagai sumber pendapatan daerah
  2. Tingginya derajat sentralisasi dalam bidang perpajakan
  3. Kendati pajak daerah cukup beragam, ternyata hanya sedikit yang bisa diandalkan sebagai sumber penerimaan
  4. Faktor yang keempat bersifat politis, ada yang khawatir apabila daerah mempunyai sumber keuangan yang tinggi akan mendorong terjadinya disintergrasi dan saparatisme.
  5. Kelemahan dalam pemberian subsidi dari pemerintah pusat kepada daerah

PENUTUP

I. Kesimpulan

Dapat disimpulkan bahwa ketergntungan fiskal antara daerah terhadap pusat sebagai akibat pembangunan yang juga semakin besar. Ketergantungan fiskal terlihat dari relatif rendahnya PAD dan otonomi pada daerah tingkat II. Kendati demikian pemda telah berperan sentral dalam ikut menyukseskan pembanguna infrastruktur dan pelayanan sosial, serta telah berfungsi sebagai alat pusat yang efektif dalam mendorong pembangunan daerah. Bila kondisi ini terus berlangsung, pembangunan daerah yang pesat akan berarti pula meningkatnya beban anggaran pusat.

Oleh karena itu dibutuhkan suatu pendekatan dan manajemen baru dalam pemda di indonesia, meliputi DPRD dan Kepala Daerah yang melayanai masyarakat sekaligus sebagai institusi politik. Ditambah dengan faktor-faktor yang dibutuhkan demi tercapainya desentralisasi:

  1. Political will yang kuat untuk mendukung desentralisasi baik tingkat pusat maupun daerah.
  2. Kesabaran menyusun sistem desentralisasi dan membiarkannya berkerja setelah ditetapkan.
  3. Penelitian untuk memantau implementasi dan mempertimbangkan dilakukan penyesuaian-penyeuaian mengingat dinamisnya hubungan pusat dan daerah.

DAFTAR PUSTAKA

Kencana Inu Syafii. Drs, Msi.Sistem Pemerintahan Indonesia.PT. Rineka Cipta.jakarta.2002.

UU RI No32 Tahun 2004.



[1] Kencana inu syafiie, Drs.Msi. Sistem Pemerintahan Indonesia. PT Rineka Cipta. Jakarta.2002. Hal: 94.

[2] Ibid.