Selasa, 05 Februari 2008

pemerintahan daerah

I. PENDAHULUAN

I.1. Sejarah Pemerintahan Daerah

Sebagai pelaksanaan pasal 18 UUD 1945 di bidang ketatanegaraan pemerintahan republik indonesia melaksanakan pembagian daerah-daerah dengan bentuk susunanya Undang-Undang Pemerintah Daerah. Oleh karena itu sejak proklamasi kemerdekaan, kita lihat pemerintah daerah beberapa kali membentuk undang-undang tentang Pemerintahan Daerah. Perubahan-perubahan terlihat karena masing-masing undang-undang menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi yang terjadi, sehingga ahkirnya terbentuk UU N0 5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan daerah. UU ini terkenal dengan pemberian otonomi yang nyata, dinamis, dan bertanggung jawab.

Seriring dengan runtuhnya orde baru dan memasuki era reformasi yang terus bergulir tiada hentinya maka UU No 5 Tahun 1974 tidak berlaku lagi dan diganti dengan UU N0 22 tahun 1999, masih tentang pemerintahan daerah. Nyata dalam arti bahwa pemberian otonomi kepada daerah harus di dasarkan pada faktor-fakor, perhiungan, dan tindakan-tindakan atau kebijaksanan-kebijaksanan yang benar-benar dapat menjamin daerah yang bersangkutan secara nyata mampu mengurus rumah tangganya sendiri.

Kemudian UU tersebut direvisi kembali menjadi UU No 32 Tahun 2004, dimana pemberian otonomi yang luas lebih diarahakan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan, dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Berdasarkan penjelasan diatas maka yang dimaksud dengan otonomi daerah itu sendiri berarti hak, wewenang, dan kewajiban suatu pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus rumh tangganya sendiri. Fungsi mengatur diberikan pada aparat legislatif yaitu DPRD. Itu sebabnya DPRD pada masing-masing daerah dapat membuat peraturan daerah (perda) masing-masing ketentuan yng berlaku. Sedangkan fungsi mengurus diserahkan kepada eksekutif daerah yaitu kepala daerah dan dinas-dinas otonomnya[1].

Ahkirnya disimpulkan bahwa pemberian otonomi kepada pemerintah daerah haruslah nyata, dinamis, dan bertanggung jawab. Nyata dalam artian desentralisasi pemerintahan karena harus didasarkan pada faktor-faktor, perhitungan-perhitungan, dan tindakan-tindakan atau kebijaksanaan yang benar-benar menjamin daerah tersebut dapat mengurus rumah tangganya sendiri. Bertanggung jawab dalam arti sentralistis pemerintahan karena harus sejalan dengan tujuan yaitu melancarkan pembangunan yang tersebar di pelosok negara dan serasi atau tidak bertentangan dengan pengarahan-pengarahan yang telah diberikan, serasi dengan pembinan politik dan kesatuan bangsa, menjamin hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan daerah[2] .

II. PEMBAHASAN

II.1. Sistem Hubungn Keuangan Pusat-Daerah

UU pertama yang menggatur hubungan keuangan antara pusat dan daerah adalah UU No 32 tahun 1956. UU ini merupakan sumber-sumber keuangan daerah sebagai berikut:

  1. Pendapatan Asli Daerah (PAD)
  2. Sumber PAD terdiri dari pajak daerah restribusi daerah dan hasil perusahaan daerah. Adapun pajak pusat yang diserahkan kepada daerah menjadi pajak daerah meliputi pajak verpoding, pajak verponding indonesia, pajak rumah tangga, pajak kendaraan bermotor, pajak jalan, pajak potong hewan, pajak kopra, dan pajak pambangunan I.
  3. Sebagian dari hasil pemungutan pajak negara tertentu, bea masuk , bea keluar dan cukai diserahkan kepada daerah. Pajak negara tertentu adalah pajak peralihan, pajak upah, pajak materai, pajak kekayaan dan pajaka perseroan.
  4. Ganjaran subsidi dan bantuan, di berikan kepada daerah dalam hal-hal tertentu.

Bagi hasil pajak serta ganjaran dan bantuan yang tidak dapat dilaksanakan berdasarkan UU No32 tahun 1956 diganti dengan (Kristiadi, 1991):

  1. Penyerahan tambahan 3 pajak negara kepala daerah, yaitu: bea balik nma kendaraan bermotor, pajak radio, dan pajak bangsa asing. Dengan demikian daerah memungut 11macam pajak.
  2. Subsidi Daerah Otonom (SDO) diberikan sebagai ganti dari bagi hasil pajak diatas. Pembagian SDO didasarkan pada perimbangan jumlah pegawai daerah otonom, dengan alasan penggunaan SDO diarahkan kepada gaji pegaai daerah otonom ditambah acress untuk belaja non pegawai, yang kemudian digunakan untuk subsidi biaya operasional serta ganjaran untuk Dati I, Dati II dan kecamatan.
  3. Sebagai ganti ganjaran, subsidi, dan bantuan di perkenalkan program bantuan inpres sejak tahun 1969.
  4. Pinjaman kepada daerah dimulai dengn banun uang IPEDA (1969), bantuan inpres pasar (1976), dan pinjaman lain (1978).

Berpijak pada tiga asas desentralisasi (dekonsentrasi, desentralisasi,dan tugas pembantuan), pengaturan hubungan keuangan pusat dan daerah didasarkan pada 4 prinsip.

  1. Urusan yang merupakan tugas pemerintah pusat didaerah dalam rangka dekonsentrasi dibiayai dari dan atas APBN.
  2. Urusan yang merupakan tugas pemerintah daerah sendiri dalam rangka desentralisasi dibiayai dari dan atas beban APBD.
  3. Urusan yang merupakan tugas pemerintah pusat atau pemerintah daerah tingkat atasnya, dapat dilaksanakan dalam rangka tugas perbantuan, dibiayai oleh pemerintahj pusat atas beban APBN atauoleh pemerintah daerah tingkat atasnya atas beban APBD-nya sebagai pihak yang menugaskan.
  4. Sepanjang potensi sumber-sumber keuangan daerah belum mencukupi pemerintah pusat memberikan sejumlah sumbangan.

Kemudian kalau kita coba membandingkan UU No32 tahun 1956 dan UU No32 tahun 2004, terdapat banyak perbedaan. Misalnya BAB III paragraf kedua mengenai pendapatan,belanja, dan pembiayaan. Pasal 157 sumber pendapatan daerah terdiri atas

1) Pendapatan asli daerah yangselanjutnya disebut PAD

· Hasil pajak daerah

· Hasil pengelolan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan

· Lain-lain PAD yang sah;

2) Dana perimbangan (DAU,DAK, dana bagi hasil)

3) Lain-lain PAD yang sah.

Lalu hubungan keuangan antara pusat dan daerah dalam BAB III duatur dalam pasal 164 yaitu:

  1. Lain-lain pendapatan daerah yang sah sebagaimana dimaksud dalam pasal 156 huruf c merupakan seluruh pendapatan daerah selain PAD dan dana perimbanga yang meliputi hibah, dana darurat, dan dana lain-lain pendapatan yang ditetapkan pemerintah .
  2. Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bantuan berupa uang , barang, dan/atau jasa yang berasal dari pemerintah, masyarakat, dan badan usaha dalam negeri dan luar negeri.
  3. Pendapatan dana darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bantuan pemerintah dari APBN kepada pemerintah daerah untukmendanai keperluan yang mendesak yang diakibatkan peristiwa tertentu yang tidak dapat ditanggulangi APBD.

Dari pasal diatas dapat dianalisa bahwa realitas hubungan fiskal ditandai dengan tingginya kontrol pusat terhadap proses pembanguna daerah. Ini terlihat jelas dari rendahnya proposisi PAD terhadap totalpendapatan daerah dibandingkan besarny subsidi (grants) yang didrop dari pusat. Indikator desentralisasi fiskal adalah rasio antara PAD dengan total pendapatan daerah. PAD terdiri atas pajak-pajak daerah, restribusi daerah, penerimaan dari dinas, laba bersih dari perusahan daerah (BUMD) dan lain-lain penerimaan.

Ditambah dengan dominanya tranfer dana dari pusat kepada daerah selama ini melalui tiga jalur. Pertama, SDO (Subsidi Daerah Otonom), yaitu transfer kepada pemda untuk membiayai pengeluaran rutin. Kedua, program inpres (dana non DIP) baik yang bersifat sektoral maupun umum dan digunakan untuk membantu pemda ( Provinsi, Kabupaten/Kotamadya, Desa) untukmembiayai pengeluaran rutin dan pembangunan, sekaligus sebagai upaya untuk mengatasi ketidakseimbangan struktur keuangan antar daerah. Termasuk dalam program Inpres adalah Inpres Kabupaten, Provinsi, Desa, SD, Kesehatan, Pasar, Penghijauan, dan Jalan. Ketiga, DIP (pengeluaran sektoral) yang dialokasikan.

Setidaknya ada lima penyebab utama rendahnya PAD yang pada gilirannya menyebabkan tingginya ketergantungan terhadap subsidi dari pusat.

  1. Kurang berperanya perusahaan daerah sebagai sumber pendapatan daerah
  2. Tingginya derajat sentralisasi dalam bidang perpajakan
  3. Kendati pajak daerah cukup beragam, ternyata hanya sedikit yang bisa diandalkan sebagai sumber penerimaan
  4. Faktor yang keempat bersifat politis, ada yang khawatir apabila daerah mempunyai sumber keuangan yang tinggi akan mendorong terjadinya disintergrasi dan saparatisme.
  5. Kelemahan dalam pemberian subsidi dari pemerintah pusat kepada daerah

PENUTUP

I. Kesimpulan

Dapat disimpulkan bahwa ketergntungan fiskal antara daerah terhadap pusat sebagai akibat pembangunan yang juga semakin besar. Ketergantungan fiskal terlihat dari relatif rendahnya PAD dan otonomi pada daerah tingkat II. Kendati demikian pemda telah berperan sentral dalam ikut menyukseskan pembanguna infrastruktur dan pelayanan sosial, serta telah berfungsi sebagai alat pusat yang efektif dalam mendorong pembangunan daerah. Bila kondisi ini terus berlangsung, pembangunan daerah yang pesat akan berarti pula meningkatnya beban anggaran pusat.

Oleh karena itu dibutuhkan suatu pendekatan dan manajemen baru dalam pemda di indonesia, meliputi DPRD dan Kepala Daerah yang melayanai masyarakat sekaligus sebagai institusi politik. Ditambah dengan faktor-faktor yang dibutuhkan demi tercapainya desentralisasi:

  1. Political will yang kuat untuk mendukung desentralisasi baik tingkat pusat maupun daerah.
  2. Kesabaran menyusun sistem desentralisasi dan membiarkannya berkerja setelah ditetapkan.
  3. Penelitian untuk memantau implementasi dan mempertimbangkan dilakukan penyesuaian-penyeuaian mengingat dinamisnya hubungan pusat dan daerah.

DAFTAR PUSTAKA

Kencana Inu Syafii. Drs, Msi.Sistem Pemerintahan Indonesia.PT. Rineka Cipta.jakarta.2002.

UU RI No32 Tahun 2004.



[1] Kencana inu syafiie, Drs.Msi. Sistem Pemerintahan Indonesia. PT Rineka Cipta. Jakarta.2002. Hal: 94.

[2] Ibid.

Tidak ada komentar: